Minggu, 27 September 2015

Kado untuk Ayah


29 Sya’ban 1430 H, Madinatul Bu’uts, Kairo

Semilir angin malam menyapu lamunanku, malam langit Kairo tak bergitu berbintang namun cukup gemilang dengan pantulan cahaya lampu kota yang begitu benderang. Aku menatap langit dari jendela kamar asrama, siluet wajah teduh ayah kembali mulai menyapa lamunanku.

 “Nak, kalau kau gagal di dunia tak usahlah kau terlalu kecewa. Dan kalau kau sukses tak perlulah kau sombong. Karena dunia sebenarnya bukanlah tempat tinggal kita, tapi tempat meninggal.”

Teringat sosoknya, ada beberapa hal yang tak bisa lepas dari ingatanku. Ya, butir-butir nasihatnya yang selalu membasahi relung jiwaku.

Akupun menutup mata, menghela napas.

“Ayah, diriku ini merindu tak karuan, selalu teringat kau dalam setiap kesempatan. Akhir-akhir ini aku gelisah, resah dengan prasangka yang tak terarah. Ingin berjumpa, memelukmu dengan penuh pengabdian dan cinta. Ayah, apakah kau baik-baik saja?” Batinku.  

Hampir 5 tahun sudah aku mengukir cerita di Bumi Kinanah. Mendaki tangga kehidupan yang mudah dan sulit, aku menjejak diantara riuh riak klakson tremco yang membisingkan, berjalan dengan peluh keringat cahaya terik musim panas, duduk bersama debu bangku kuliah, bangkit melawan kantuk hawa musim dingin, tak jarang harus berhemat untuk jaminan keselamatan perutku beberapa bulan kelak.

            Aku yang terlatih bahkan sampai tertatih untuk menimba ilmu dari sumber pengetahuan Islam para ulama Azhar sampai saat ini belum merasa cukup. Dibanding prestasi akademis teman-temanku, mungkin aku berada di strata yang biasa-biasa saja. Tapi boleh jadi, untuk hapalan al-Qur’an, aku bisa melebihi mereka. Ya, cita-citaku adalah memberikan kado untuk ayah, sebuah rumah di surga. Tempat bernaung keluargaku kelak. Dan di Negri seribu menara ini, aku sedang menyicilnya dengan hapalan al-Qur’anku yang sedikit lagi selesai.

“Tinggal dua juz lagi”. Batinku.

Sebelum tidur, aku menorehkan pena, menulis rencana kegiatanku beberapa hari ke depan dalam secarik kertas. Seminggu kemarin, aku telah menyelesaikan ujian termin dua di tingkat akhir kuliahku. Terbesit di pikiranku untuk melanjutkan studi sampai doktoral. Aku tersenyum, memejamkan mata. Angan-anganku melayang membayangkan betapa nikmatnya bisa berada lebih lama belajar di sekitar para ulama. Dan seketika pula siluet ayah dan ibu ikut tersenyum melihatku.

“Ah benar, aku tidak bisa  memutuskan keinginanku sendiri. Nanti aku akan menghubungi mereka. Mereka pasti mengizinkanku.” Batinku penuh keyakinan. Aku memadamkan lampu, menarik selimut, membaca doa dan tertidur.

1 Ramadhan 1430 H, Kairo

            Bulan ini, kelima kalinya aku merasakan puasa di Negeri para Nabi. Selepas muroja’ah dan menyetor hapalan di salah satu markaz tahfidz, aku memang niat mengunjungi maktabah Darussalam. Suhu udara hari ini terik sekali, aku melangkahkan kaki tak peduli. Sesampainya di maktabah aku membeli beberapa buku.

Braaak ....

Tiba-tiba bukuku terjatuh di lantai, bersamaan dengan pandanganku yang jatuh pada bola mata lelaki yang menabrakku. Tanpa sadar pandangan kami bertemu. Tatapannya teduh, sempurna membuat degup jantungku berdetak tak menentu.

“Maaf, apakah mbak baik-baik saja?” Tanyanya dengan nada khawatir.

Aku berdehem. Memasang tampang muka kesal. Cepat aku berdiri merapihkan baju dan bukuku.

“Tidak apa-apa. Lain kali, kalau jalan liat-liat ya mas.” Jawabku ketus.

Aku memalingkan wajah, pergi begitu saja. Sempurna aku berpura-pura.

“Tatapan teduhnya, wajahnya yang tak asing. Sepertinya aku mengenalnya?” batinku.

Tak ambil pusing, aku segera mencari tremco, pulang menuju asrama. Tiba-tiba ponselku berdering. Mataku sigap membaca pesan masuk dari bibi.

“Assalamualaikum nay, kapan kamu pulang ke tanah air? Ibumu sudah semakin tua. Segeralah pulang nak, orang tuamu selalu mengharapkan kedatangan anaknya. Ibu dan ayahmu sudah tidak sanggup bekerja lagi. Saran bibi, kau lanjutkan saja s2-mu dan bekerja lah sambil merawat ayahmu yang saat ini sedang sakit. Wasalam.”

Belum sempat aku utarakan keinginan untuk melanjutkan doktoral di Mesir. Ternyata Allah berencana lain.

”Tidak apa-apa.” Aku berkata pelan, menelan ludah kecewa.

Aku merubah pikiranku untuk mencari tremco. Aku memutuskan berjalan kaki dari darasah menuju asrama. Ya tak apalah, aku membutuhkan suasananya, berjalan sendirian.

28 Dzul Qa’dah 1430 H, Bandara Soekarno-Hatta, Indonesia

Aku menarik koperku menuju pintu keluar kedatangan. Aku tersenyum senang membayangkan wajah kedua orang tuaku ketika nanti kutunjukkan ijazah kelulusan tahfidz sekaligus kuliahku. Entah bagaimana perasaanku mencari-cari wajah orang tuaku di antara kerumunan orang yang menunggu. Hari ini, rinduku tak perlu lagi dipelihara dalam diam, atau ku luapkan pada langit malam. Akan ku tuntaskan, ku luapkan rindu yang sudah tak terbendung untuk disimpan.

Mataku seketika itu memanas melihat wajah ayah dari sebrang jalan. Ibu dan bibi berjalan di belakangnya. Ayahku tergopoh-gopoh menyebrang jalan tak sabar, bersamaan ketika air mataku mengalir tanpa diperintahkan. Aku terharu melihat wajah ibu dan ayah yang tersenyum begitu sumringah.

Ciiiiiittt,,, braaaak

Suara dentuman mobil tiba-tiba menghentikan air mataku. Ibu seketika diam terpaku. Aku dan bibi berlari menuju ayah yang sudah terbaring di jalan. Kerumunan orang yang menunggu sanak keluarganya, kini berpindah mengerumuni lokasi tabrakan. Petugas kesehatan bandara berlari menuju lokasi.

Aku duduk terdiam disamping tubuh ayah. Telingaku tak lagi mendengarkan pertanyaan dan seruan orang-orang yang sedari tadi semakin berkerumun mendekatiku. Mataku sibuk menatap lekat-lekat tubuh yang tergeletak lemas tak berdaya, seperti sudah tak bernyawa.

Salah satu petugas segera memberikan pertolongan pertama dan memeriksa urat nadinya. Dia pun duduk mendekatiku.

“Sudah tidak bisa diselamatkan, maaf mbak kita terlambat.” Katanya dengan nada penuh penyesalan.

Ibu tak mampu bicara, hanya  menepuk-nepuk dada dengan air mata di pipinya. Ritme napasku kini semakin tak beraturan, perasaanku sudah tak karuan. Kali ini, entah air mata apa yang turun semakin deras berjatuhan. Aku menggenggam erat tangan ayah, ada sepenggal senyum selamat tinggal terukir di bibirnya.

“Ayah, semoga kau suka dengan kadomu di surga.” Batinku perih.

 

 

       Ide cerita              : Iif Thoyibah

Dikarang oleh      : Rakhmi Vegi Arizka

 

 

 

 

 

Dilema yang ‘Beragama’


Disebelah sana, di Negeri “Paman Sam” bukan main, bukan main gegap gempitanya rakyat yang beseru bahwa LGBT (Lesbian, Gay Biseksual dan Transgender) telah disahkan di seluruh Amerika Serikat. Bisa jadi, semboyan “Hiduplah kemerdekaan, persamaan dan persaudaraan!”, “hiduplah Liberté, égalité dan fraternité!” dalam bahasa Perancis ini, dikumandangan dengan keberanian seperti meriam yang lepas dari senapannya. Semboyan “Love Wins” bak gemerlap kembang api diluncurkan ke langit, pertanda riuh kemenangan telah bangkit.

Disebelah sini, di Negeri “Macan Asia yang Tertidur” gerakan eksklusif kaum puritan (kaum yang merasa paling suci) gempar sekali lagi! Gempar karena mendengar semboyan kaum yang menyuarakan “Islam Nusantara” yaitu, islam yang bersifat terbuka dan toleran terhadap ajaran agama lain dan budaya keindonesiaan. Dan mereka gempar, maha gempar tatkala menyimpulkan bahwa manuver kelompok yang menyusung semboyan ini tak lebih untuk menyajikan sekulerisme dalam kemasan baru dan juga menyingkirkan Arab sentris.

Sana mau kesana, sini mau kesini. Begitulah kurang lebih gambaran pertentangan antar suatu golongan. Ini bukan lagi siapa yang mendukung LGBT atau menolak ide Islam Nusantara. Tulisan ini bukan untuk memihak. Ya, rubrik kolom ini berisi tulisan bebas dengan tema bebas namun, sepaket dengan tanggung jawabnya. Kebebasan berbanding lurus dengan tanggung jawab bukan? Semakin besar kebebasan yang kita lakukan, semakin besar pula tanggung jawab yang diberikan.

Begitu pula seharusnya manusia. Terlebih, manusia-yang katanya-beragama. Namun realitanya, sebagian mereka yang beragama terkadang melantangkan kebebasan namun menafikan tanggung jawab yang dibebankan. Merasa bebas untuk bersuara, mengemukakan pendapat, selalu merasa dirinya paling tepat. Tak jarang apa yang dikatakan ternyata bisa menyakitkan bagi yang mendengarkan. Tak bertanggung jawab meminta maaf, mereka bersi keras bahwa yang tersakiti, yang seharusnya sadar diri.

Padahal, apa yang diyakini masing individu bisa jadi berbeda dengan yang lainnya. Maka lahirlah dua kubu yang berbeda, saling tolak-menolak. Sebelah sana menyuarakan kebenaran, sebelah sini menganggap yang disana punya banyak kesalahan. Tak cukup disitu. Sebagian dari mereka yang beragama terkadang selalu mengoreksi, tapi tak mau dikoreksi. Selalu mengawasi, tapi tak mau diawasi. Selalu mengatur, tapi tak mau diatur. Mungkin hal-hal seperti itulah yang bisa membuat agama mereka hancur, mungkin.

Perang media massa, elektronik bahkan sosial tidak dapat dihindarkan. Mau tidak mau terjadi ‘perang saudara’ dalam agama yang sama. Mungkin inilah sebab kelebihan penduduk atheis dari penduduk-yang katanya-beragama. Mereka merasa aman di tengah-tengah penduduk tanpa iman, sementara yang beragama merasa tidak nyaman berada di anatara mereka yang (mengaku) beriman.

Mengkrucut kepada mereka yang beragama, acap kali mereka berdakwah ataupun berdiskusi dengan memaparkan kesalahan golongan yang mereka anggap menyimpang dari kebenaran. Bagi sebagian mereka yang mencari kebenaran, forum disana diikuti, forum disini disimaki. Namun terkadang terjadi pergolakan hati tatkala kedua forum malah saling menghakimi dikarenakan berbeda sudut pandang. Keduanya beranggapan mengungkapkan kebenaran namun yang terdengar adalah saling merendahkan.

Teringat perkataan Imam Nawawi dalam kitabnya al-Adzkar yang kurang lebih mengungkapkan bahwa antara ghibah dan nasihat itu beda tipis. Wajib bagi kita untuk memaparkan kesalahan sebagai nasihat. Namun, apabila kita memberi nasihat dengan memaparkan kesalahan golongan yang berbeda dengan kita menggunakan redaksi yang merendahkan (mengolok), bisa jadi itu merupakan ghibah maka hukumnya menjadi haram.

Inilah dunia dengan anomalinya. Hal yang tidak sesuai dengan seharusnya terjadi. Seharusnya mereka yang mengimani Tuhan yang sama hidup saling rukun, damai tentram dan bahagia. Ternyata yang ada malah saling caci-maki membela kepentingan yang berbeda. Saling ingin mendapatkan prestise di mata dunia, mereka tidak mau di cela.

Kalau kata penulis Azhar Nurun Ala,“Dunia semakin pintar menggoda, kita semakin mudah dirayu.” Ya, kurang lebih begitulah tipu muslihat dunia yang membuat kita ingin menjadi jagoan, pahlawan kebenaran namun ternyata  kita sedang menapaki jalan kesesatan. Bukan begitu? Wallahu’alam.

Selasa, 20 Mei 2014

'Aku' Mahasiswi Fakultas Ilmu Sosial dan Politik


'Aku' Mahasiswi Fakultas Ilmu Sosial dan Politik

Sewaktu kaki kecilku melangkah di taman kanak-kanak (TK), aku yang hanya bermodalkan suara lantang  ditambah mikrofon yang membuat sekujur tubuh mungilku bergetar, sukses menjadi bahan tertawaan oleh para orang tua dan tamu undangan di acara perpisahan angkatanku. Ya, aku yang kebagian tugas membaca pidato perpisahan kelimpungan ketika aku tiba-tiba lupa teks yang akan dibaca dan selanjutnya aku mulai berpidato tak beraturan. Tapi kata ayahku, “Tak apa apalah, yang penting sudah dicoba.
Sewaktu Sekolah Dasar (SD) aku suka sekali mengangkat tangan ketika ibu atau bapak guru menanyakan sesuatu kepada kami murid lugu waktu itu. Kadang aku menjawab dengan benar dan sering kali aku menjawab pertanyaan yang kurang tepat. Namun, entah kenapa adrenalinku untuk berbicara selalu saja mendominasi diri ini untuk mengangkat tangan walaupun jawabannya aku tak tahu. Dan sering kali aku menjadi bahan tertawa teman-teman SD waktu itu. Tapi kata mamahku, “Itulah kehebatanmu, yang penting maju.
Sewaktu aku duduk di Sekolah Menengah Pertama (SMP), aku suka sekali dengan teman-temanku di kelas 8 E. Bukan karena unggulan, tetapi karena mereka mengajakku selalu aktif berbicara dalam setiap pelajaran. Waktu itu sekolahku memang sedang menerapkan metode belajar baru, dengan cara tak hanya mengajar dengan satu arah, yaitu guru hanya mentransfer ilmu kepada murid. Tetapi, kami dipancing untuk mencari tahu dan aktif berbicara tentang permasalahan dalam pelajaran yang ada. Kata sahabatku, “Kau selalu saja ingin tahu.
Sewaktu aku menimba ilmu di pesantren, aku suka sekali mengajukan pertanyaan. Entah di acara formal atau non formal, digabung putra dan putri ataupun tidak. Bahkan, pernah suatu saat aku maju saat upacara dan melantunkan ayat suci yang ternyata salah. Kata Guru favoritku, Tak apa, berani maju saja sudah punya nilai lebih. Masalah salah, bisa diperbaiki. Karena keberanian itu dilatih.
Rangkaian perjalanan hidup yang ku lalui mulai merajut perlahan mimpiku. Aku ingin menjadi seorang wanita di balik layar kaca penyiar radio. Menyapa para pendengar, mendengarkan keluh kesah mereka, permintaan mereka, memberikan solusi yang bisa ku tawarkan, mendapat banyak teman dan pengalaman, dan sebagainya.
Lalu, akupun berani memilih Fakultas Ilmu Sosial dan Politik (FISIP) yang telah lama membuat hati ini tergelitik ingin jauh menyelidik. Apa saja yang akan aku pelajari ketika menjadi mahasiswi FISIP ? Bagaimana metode komunikasi  yang baik dan mudah diterima ketika kita berinteraksi dengan masyarakat ? Dimana letak kelebihan para mahasiswa FISIP dibanding mahasiswa fakultas lainnya ? Siapa saja pakar yang berkecimpung dan terkenal akan keahliannya dalam dunia ilmu sosial, politik, komunikasi, dan sebagainya ? Mengapa ilmu sosial dikaitkan dengan ilmu politik, apa korelasinya ? Berapa besar kontribusi yang bisa kita implementasikan untuk diri sendiri, masyarakat bahkan agama yang kita percaya setelah menjadi sarjana FISIP ? Apakah dengan memilih FISIP aku dapat belajar lebih jauh tentang ilmu teknologi, komunikasi bahkan jurnalistik juga ?  Dan, berbagai pertanyaan lainnya datang menghampiri pikiranku.
Ya, kini aku duduk di bangku jajaran mahasiswa/i dengan tingkat keberanian tinggi berbicara di depan publik. Jurusan komunikasi tertera dalam kartu  mahasiswiku. Di kelas kami aktif membahas tajuk yang sedang berkecamuk riuh di negeri yang boleh ku bilang sebagian ‘penduduknya’ maruk terhadap uang rakyat yang ujung-ujungnya hanya dipakai untuk ria bermabuk. Setiap mata kuliah baik itu pendidikan pancasila bahkan agama, dosen kami selalu tak ingin kalah berkomentar tentang materi yang tertera di silabus. Bukan hanya karena ingin memenuhi tiap SKS mata kuliah, tapi karena beliau para dosen yang percaya bahwa semangat anak muda mampu meredam setiap perpecahan yang ada melalui komunikasi yang terjalin diantara sesama manusia.
Tak hanya di kelas yang membuat kami sibuk membuat makalah tentang ilmu budaya dasar ataupun berkutat dengan mata kuliah keahlian seperti radio, sejarah media massa, produksi televisi dan sebagainya. Tapi, kami juga mengelap peluh lelah namun puas terhadap organisasi yang kami galakkan guna menampung ide, kreatifitas yang tertanam dalam jiwa muda kami sebagai mahasiswa. Kadang kami berkumpul di kafe sekedar rapat membicarakan acara training leadership untuk para siswa SD, SMP, dan SMA, rohis setiap hari Jum’at, festival musik dan drama musikal antar fakultas , seminar dengan para pakar sosial, politik, komunikasi bahkan agama dan lain sebagainya.

Dan, kini aku terduduk dengan rasa kantuk mulai tertumpuk di pelupuk mataku...

“Rahmi, dah Ashar kalau dah ngantuk, mau tidur, enakkan abis Shalat biar tenang”

Kairo, Madinat El-Bu’uts
14:08 Clt


Kamis, 15 Mei 2014

2010
Vera      :                Pagiku diawali oleh senyummu
                                Siangku dicerahi oleh candaanmu
                                Malamku ditemani oleh suaramu
                                Kau pintar membuat hatiku terpaku menjadi tak ragu
                                Kau tahu aku semakin tenggelam dalam lautan cintamu ?
                                Tapi ku hanya menatap kau malu-malu
                                Membuat dirimu selalu meragu, apakah aku mencintaimu ?
                                Hari, bulan, tahun langkahku menyertaimu
                                Lambat laun kau tahu apa arti tatapanku yang malu-malu itu
                                Dan kini, aku dihadapanmu, mengapa matamu yang menatapku malu ?

Brian      :               Aku sungguh tak mengerti akan dirimu
                                Mengapa pagi, siang, malam aku selalu ingin berada di dekatmu ?
                                Sudah ku lantunkan kata rindu, selalu saja kau hanya menatapku malu
                                Malu dan tersirat tatapan ragu ketika cintaku datang menemui hatimu
                                Tapi aku tahu dari awal ku bertemu denganmu..
                                Sukses kau selalu membuat diri ini penasaran akan dirimu
                                Hari, bulan, tahun langkahku menyertaimu
                                Lambat laun ku tahu apa arti tatapanmu yang malu-malu itu
                                Dan kini,  aku dihadapanmu, mengapa mataku yang menatapmu malu ?

Fazy       :               Vera, nama yang perlahan mulai terpahat di hatiku
                                Ku tahu dirimu, ku tahu hampir semua tentang dirimu
                                Namun kau hanya tahu sekilas tentang diriku
                                Hanya sebentar pernah menyapaku
        Tanpa kau tahu …
                                Sebenarnya aku mengagumi dirimu, dirimu yang tersenyum bukan padaku
                                Ya, bukan padaku tetapi pada temanku
                                Lambat laun perasaan ini semakin tumbuh, tersiram oleh kerinduanku padamu
                                Dan diri ini hanya bisa menunggu, ketika ku tahu kau menaruh hati pada temanku
                                Kau tahu, aku tetap menunggu, walaupun jemu kadang menghampiriku
                                Hari, bulan, tahun langkahku ternyata semakin jauh darimu
                                Dan kini, aku hanya bisa mengingat senyummu dari jarak yang sangat jauh
                                Akankah waktu membawamu kesini, agar bisa kembali ku tatap wajahmu ?

2014

Vera      :                Brian, nama itu sudah ku kubur dengan segala kenangan tentang kita
                                Tak ada lagi tatapan diantara kita, tak ada lagi terucap kata cinta
                                Waktu membawa kita bagaikan insan yang tak pernah jumpa
                                Ku coba tak pernah lagi mengenal cinta pada manusia
                                Mulai perlahan ku benahi diri, tak mengulang kesalahan yang sama
                                Sadar, seharusnya aku mencinta kepada Sang Maha Pemberi Cinta
                                Dan ternyata jarak semakin memisahkan kita, jauh terasa
                                Namun, ku kira, jarak tak akan membuatku kembali jatuh mencinta
                                Ketika seseorang dari jauh selalu menunggu, datang menyapa
                                Mengapa hati ini luluh ketika orang itu ingin menyerahkan cincin tanda cinta
                                Apakah dia seseorang yang tertulis untukku oleh-Nya  ?
                                Tapi, mengapa nama Brian tak dapat hilang sirna dalam jiwa ?

Fazy       :               Aku tak percaya waktu mempertemukanku dengan Vera
                                Jarak yang kini jauh, sangat dekat terasa
                                Ku bisa menatap kembali wajahnya tanpa ada temanku disampingnya
                                Aku mantapkan diri, maju menyuguhkan cinta yang sudah lama terasa
                                Kali ini aku tidak bisa berlama, aku harus meyakinkan diri membuktikan cinta
                                Aku akan datang, bertandang kepada orang tuanya ucapkan cinta kepada anaknya
                                Tak kusangka, Vera dengan mudanya menerima ketika  ku serahkan cincin untuknya
                                Ah, ku tahu rencana-Mu sunggguh indah setelah lama kupendam rasa
                                Aku tinggal berusaha, menuju tahap selanjutnya
                                Menunggu kata setuju dari orang tuanya
                                Dan membuat orang lain menyingkir dari rasa suka padanya

Brian      :               Kau tahu bagaimana kita harus memutuskan berpisah untuk kebaikannya ?
                                Ya, untuk kebaikanku dan Vera
                                Aku tak ingin mengganggu dirinya yang semakin baik perangainya
                                Tak ada yang tahu, ketika waktu dan jarak menjauhkan diriku dan dirinya
                                Hati kecilku sangat merindu, ingin bertegur sapa, memandang wajahnya
                                Dan kau tahu bagaimana hati menahan cinta yang terpendam dalam jiwa ?
                                Dan hati ini tak bisa tenang, pikiranku penuh memikirkannya
                                Ketika ku dengar kau akan di lamar oleh dia, teman lama kita..
                                Semalaman ku tak bisa tidur, kenangan terbayang tentang cerita cinta kita
                                Aku mencari tahu, apakah berita itu benar adanya ?
                                Hati ini semakin tak terima ketika memang, kau akan di lamar olehnya..
                                Haruskah ku ungkapkan kembali, ataukah semakinku pendam cinta yang menyala ?
                                Dan kini aku bingung, aku harus apa ?

Dan, aku .
Bukanlah Vera, Brian dan Fazy.
Hanya yang mengetahui kisah yang tak terungkap fakta
Dan aku bingung, harus bagaimana untuk kebaikan kalian bertiga ?
Ah, aku tahu, akan ku tanyakan kepada Sutradara penulis skenario diantara kalian…

Madinat El-Bu’uts
03 :55 Subuh

                               
                               

                               
                               
                               
                               


                 

Minggu, 11 Mei 2014

Secepat itukah pertemuan denganmu ?


Sabtu malam ku terduduk disini, masih di tempat ini
Memutar kembali memori, meredam beribu emosi
Di tanganku masih tergenggam bunga mawar ini
Bunga yang kau beri, lalu kau tinggal aku pergi
Lagi…

3 hari yang lalu…
Langkah kakiku terburu, ku dengar deru peluru semakin bertaut. Ku tutup telinga, ku pejamkan mata, dan seketika lemas ku terduduk.  Keranjang berisi Chery kini tergeletak di samping sungai dan aku takut diri ini ketahuan, duduk terkulai di luasnya hutan. Bulu kudukku tegak berdiri, aku merinding, membayangkan diri ini digiring oleh mereka, para tentara dengan otak miring!
Sudah berapa banyak teman sebayaku meninggal tergeletak tak berdaya dan tanpa nyawa, karena mereka para tentara asing yang gencar menodongkan senjata. Kami para wanita desa terpencil yang lugu, tak tahu menahu tentang perang dunia kala itu. Kami hanya bisa berteriak pasrah ketika mereka para tentara berhasil menangkap kami yang tidak bersalah. Namun, hanya aku, hanya aku yang selamat dari kejadian penangkapan itu. Hanya aku yang bisa meloloskan diri, ketika kawanku satu satu ditelanjangi kemudian ditembak mati.

Malam saat kejadian itu, bajuku dibanjiri tangis air mata, tak mampu mulut meraungkan kepedihan, namun hati mampu meraung meronta-ronta kesakitan. Para tentara itu, mereka jelas sekali bukan pahlawan! Mereka bukan para pelindung negara yang mereka pertahankan, karena mereka hanya bisa memuaskan nafsu hewani yang tidak dapat ditahan.
Dan aku kini hidup di antara pepohonan, di gubuk kecil yang sangat jauh dari keramaian, anugerah Tuhan masih menolongku untuk bertahan dalam kehidupan. Aku bisa mendapat makanan dan keamanan yang entah mengapa Tuhan selalu berikan dengan cara yang menurutku sangat menakjubkan. Namun, kali ini aku yang duduk lemas tak berkawan, tak tahu apakah Tuhan masih memberiku kehidupan ? karena berkali-kali peluru masih di tembakkan mengaung di awan. Jelas aku takut bertemu mereka para tentara yang buta hatinya, brutal kelakuannya.
Sayup-sayup derap langkah mulai terdengar walupun tangan ini telah menutup telinga rapat. Degup jantungku mulai tak beraturan, kakiku mulai gemetaran. Kali ini aku pasrah dalam kuasa Tuhan. Entah mengapa perasaanku merasa ada seseorang dari jauh yang diam-diam memperhatikan. Takut, kini aku semakin takut. Aku sudah meringkuk di antara pepohonan. Aku lupa, ternyata keranjang Cheryku mudah dipandang mata. Ah, sudahlah kubayangkan kematian di pelupuk mata.
Duaaar !!!
Suara peluru semakin terdengar, semakin rapat diri ini meringkuk ketakutan. Tak tahan mulut ini ingin berteriak, tiba-tiba tangan seseorang mendekap mulutku cepat. Aku semakin memberontak dalam dekap tangannya. Ya Tuhan, ternyata diri ini ketahuan! Air mata cepat mengalir tak tertahankan. Aku sesenggukan, pandanganku sudah buyar, aku tak berani menengok kepada dia yang mendekap mulut ini dari belakang.
“Ssst, diamlah! Bertahanlah! sekarang ikuti aku tanpa banyak bicara dan jangan melawan kalau kau ingin selamat. “
Telingaku menangkap suara berat pria yang tadi berbisik di belakang. Kini dia melepaskan tangan  dari mulutku, dan menendang keranjang Cheryku yang kini hanyut di sungai cepat. Kini tanganku sudah diraihnya, aku pasrah menyamakan iringan jalannya yang cepat. Kami menyebrangi riak air sungai, melewati pepohonan yang menjulang tinggi, dan kini otakku tidak bisa berpikir lagi, naluri ini akhirnya pasrah mengikuti.
Kini kami sudah jauh melangkah, tak ku dengar lagi deru langkah para tentara, tak ada lagi suara peluru menggema di angkasa. Samar ku lihat rumah kecil menyempil di antara pepohonan. Kini langkah kami melambat, dan aku baru tersadar. Pria ini adalah tentara, karena corak baju yang dikenakan oleh dirinya. Lalu mengapa dia membawaku kesini, seperti menyelamatkanku ? Seketika aku melepaskan genggamannya.
“Kau tentara ? Apa maksudmu membawaku kesini? Apa yang kau inginkan? Ah, aku tau kau bukan ingin menyelamatkanku, melainkan ingin menjebakku! Apa maksud semua ini? Kau menginginkan tubuh ini, lalu kau permainkan dan kau tembak mati? Ya, seperti teman-temanmu yang berlaku seperti itu kepada kawan-kawanku! Kalau seperti itu, lebih baik aku mati tadi terkena peluru daripada tubuh ini harus kau buru!”
Bergetar hebat mulutku berkata seperti itu, air mata kini tumpah kembali membasahi tubuh, aku menunduk dengan tangan menelungkup menutupi wajahku.
“Bukalah wajahmu, Sona.”
Mataku lebar terbelalak, mulutku gugup ketika kubuka tangan yang menutupi wajah ini. Bodoh sekali ketika pertama kali aku tak mengenali suara berat pria ini. Tentu saja dia mengetahui namaku. Tentu saja! karena dia adalah pria yang sangat dekat denganku 5 tahun yang lalu.
“Haruki…” lemasku mengatakan namanya.
 “Benar dugaanku, kau sudah melupakanku. Sampai kau tak mengenali suaraku, sampai kau berpikiran bahwa aku akan menodaimu.” Haruki berkata miris.
Aku tekulai lemas, mataku mengerjap dan memperhatikan setiap urat wajahnya yang tegas. Ku tatap matanya, kudapati rasa rindu yang terlihat jelas. Apakah ini kenyataan atau tidak ? Entahlah, rasanya tidak dapat berpikir waras ketika kulihat parasnya.
“Tinggalah di rumah itu. Aku sudah memperhatikanmu dari dulu walaupun kau berfikir aku meninggalkanmu 5 tahun yang lalu. Dan, sekali lagi, maaf aku hanya bisa menolongmu, aku harus pergi,  dan tak tahu apakah aku bisa kembali, melihat dirimu lagi.” Haruki menatapku, langkah kakinya mulai mendekati dan tangannya mengeluarkan sesuatu dari balik baju tentaranya.
“Ini, bunga mawar merah yang tak aku sempat berikan dulu. Untuk menemani sepimu, karena aku akan pergi lagi meninggalkanmu.” Haruki berkata dan menyodorkan bunga tepat di depan tanganku. Ragu ku raih bunga itu. Dan tanpa sekali menyentuhku, mencium keningku, dia berlalu, berlari meningalkanku. Meninggalkanku yang berdiri terpakku atas pertemuan singkat itu.
Secepat itukah pertemuan denganmu ?

Madinat-El-Bu’uts
09:46 Pagi
RVA


Kamis, 08 Mei 2014


“I was smiling yesterday,I am smiling today and I will smile tomorrow.Simply because life is too short to cry for anything.” 
― Santosh Kalwar

matahari sudah siap lengser meninggalkan tahta dunia..

angin sepoi-sepoi perlahan membuat pepohonan melambai, ucapkan selamat tinggal.

Namun, biarkan diriku tetap disana, tetap tinggal dengan buku yang masih terpegang, 

sampai keberadaan bulan menyuruhku untuk, pulang .