29 Sya’ban 1430 H, Madinatul Bu’uts, Kairo
Semilir angin malam menyapu lamunanku, malam langit Kairo tak
bergitu berbintang namun cukup gemilang dengan pantulan cahaya lampu kota yang
begitu benderang. Aku menatap langit dari jendela kamar asrama, siluet wajah
teduh ayah kembali mulai menyapa lamunanku.
“Nak, kalau kau gagal di
dunia tak usahlah kau terlalu kecewa. Dan kalau kau sukses tak perlulah kau
sombong. Karena dunia sebenarnya bukanlah tempat tinggal kita, tapi tempat
meninggal.”
Teringat sosoknya, ada beberapa hal yang tak bisa lepas dari
ingatanku. Ya, butir-butir nasihatnya yang selalu membasahi relung jiwaku.
Akupun menutup mata, menghela napas.
“Ayah, diriku ini merindu tak karuan, selalu teringat kau dalam setiap
kesempatan. Akhir-akhir ini aku gelisah, resah dengan prasangka yang tak
terarah. Ingin berjumpa, memelukmu dengan penuh pengabdian dan cinta. Ayah,
apakah kau baik-baik saja?” Batinku.
Hampir 5 tahun sudah aku mengukir cerita di Bumi Kinanah. Mendaki
tangga kehidupan yang mudah dan sulit, aku menjejak diantara riuh riak klakson tremco
yang membisingkan, berjalan dengan peluh keringat cahaya terik musim panas,
duduk bersama debu bangku kuliah, bangkit melawan kantuk hawa musim dingin, tak
jarang harus berhemat untuk jaminan keselamatan perutku beberapa bulan kelak.
Aku yang terlatih
bahkan sampai tertatih untuk menimba ilmu dari sumber pengetahuan Islam para
ulama Azhar sampai saat ini belum merasa cukup. Dibanding prestasi akademis teman-temanku,
mungkin aku berada di strata yang biasa-biasa saja. Tapi boleh jadi, untuk
hapalan al-Qur’an, aku bisa melebihi mereka. Ya, cita-citaku adalah memberikan
kado untuk ayah, sebuah rumah di surga. Tempat bernaung keluargaku kelak. Dan
di Negri seribu menara ini, aku sedang menyicilnya dengan hapalan al-Qur’anku
yang sedikit lagi selesai.
“Tinggal dua juz lagi”.
Batinku.
Sebelum tidur, aku menorehkan pena, menulis rencana kegiatanku
beberapa hari ke depan dalam secarik kertas. Seminggu kemarin, aku telah
menyelesaikan ujian termin dua di tingkat akhir kuliahku. Terbesit di pikiranku
untuk melanjutkan studi sampai doktoral. Aku tersenyum, memejamkan mata. Angan-anganku
melayang membayangkan betapa nikmatnya bisa berada lebih lama belajar di
sekitar para ulama. Dan seketika pula siluet ayah dan ibu ikut tersenyum
melihatku.
“Ah benar, aku tidak bisa
memutuskan keinginanku sendiri. Nanti aku akan menghubungi mereka.
Mereka pasti mengizinkanku.”
Batinku penuh keyakinan. Aku memadamkan lampu, menarik selimut, membaca doa dan
tertidur.
1 Ramadhan 1430 H, Kairo
Bulan ini, kelima
kalinya aku merasakan puasa di Negeri para Nabi. Selepas muroja’ah dan menyetor
hapalan di salah satu markaz tahfidz, aku memang niat mengunjungi maktabah Darussalam.
Suhu udara hari ini terik sekali, aku melangkahkan kaki tak peduli. Sesampainya
di maktabah aku membeli beberapa buku.
Braaak ....
Tiba-tiba bukuku terjatuh di lantai, bersamaan dengan pandanganku
yang jatuh pada bola mata lelaki yang menabrakku. Tanpa sadar pandangan kami
bertemu. Tatapannya teduh, sempurna membuat degup jantungku berdetak tak
menentu.
“Maaf, apakah mbak baik-baik saja?” Tanyanya dengan nada khawatir.
Aku berdehem. Memasang tampang muka kesal. Cepat aku berdiri
merapihkan baju dan bukuku.
“Tidak apa-apa. Lain kali, kalau jalan liat-liat ya mas.” Jawabku
ketus.
Aku memalingkan wajah, pergi begitu saja. Sempurna aku
berpura-pura.
“Tatapan teduhnya, wajahnya yang tak asing. Sepertinya aku
mengenalnya?” batinku.
Tak ambil pusing, aku segera mencari tremco, pulang menuju
asrama. Tiba-tiba ponselku berdering. Mataku sigap membaca pesan masuk dari
bibi.
“Assalamualaikum nay, kapan kamu pulang ke tanah air? Ibumu sudah
semakin tua. Segeralah pulang nak, orang tuamu selalu mengharapkan kedatangan
anaknya. Ibu dan ayahmu sudah tidak sanggup bekerja lagi. Saran bibi, kau
lanjutkan saja s2-mu dan bekerja lah sambil merawat ayahmu yang saat ini sedang
sakit. Wasalam.”
Belum sempat aku utarakan keinginan untuk melanjutkan doktoral di
Mesir. Ternyata Allah berencana lain.
”Tidak apa-apa.” Aku berkata pelan, menelan ludah kecewa.
Aku merubah pikiranku untuk mencari tremco. Aku memutuskan
berjalan kaki dari darasah menuju asrama. Ya tak apalah, aku membutuhkan
suasananya, berjalan sendirian.
28 Dzul Qa’dah 1430 H, Bandara Soekarno-Hatta, Indonesia
Aku menarik koperku menuju pintu keluar kedatangan. Aku tersenyum
senang membayangkan wajah kedua orang tuaku ketika nanti kutunjukkan ijazah
kelulusan tahfidz sekaligus kuliahku. Entah bagaimana perasaanku mencari-cari
wajah orang tuaku di antara kerumunan orang yang menunggu. Hari ini, rinduku
tak perlu lagi dipelihara dalam diam, atau ku luapkan pada langit malam. Akan
ku tuntaskan, ku luapkan rindu yang sudah tak terbendung untuk disimpan.
Mataku seketika itu memanas melihat wajah ayah dari sebrang jalan.
Ibu dan bibi berjalan di belakangnya. Ayahku tergopoh-gopoh menyebrang jalan
tak sabar, bersamaan ketika air mataku mengalir tanpa diperintahkan. Aku
terharu melihat wajah ibu dan ayah yang tersenyum begitu sumringah.
Ciiiiiittt,,, braaaak
Suara dentuman mobil tiba-tiba menghentikan air mataku. Ibu
seketika diam terpaku. Aku dan bibi berlari menuju ayah yang sudah terbaring di
jalan. Kerumunan orang yang menunggu sanak keluarganya, kini berpindah
mengerumuni lokasi tabrakan. Petugas kesehatan bandara berlari menuju lokasi.
Aku duduk terdiam disamping tubuh ayah. Telingaku tak lagi
mendengarkan pertanyaan dan seruan orang-orang yang sedari tadi semakin
berkerumun mendekatiku. Mataku sibuk menatap lekat-lekat tubuh yang tergeletak
lemas tak berdaya, seperti sudah tak bernyawa.
Salah satu petugas segera memberikan pertolongan pertama dan
memeriksa urat nadinya. Dia pun duduk mendekatiku.
“Sudah tidak bisa diselamatkan, maaf mbak kita terlambat.” Katanya
dengan nada penuh penyesalan.
Ibu tak mampu bicara, hanya
menepuk-nepuk dada dengan air mata di pipinya. Ritme napasku kini
semakin tak beraturan, perasaanku sudah tak karuan. Kali ini, entah air mata
apa yang turun semakin deras berjatuhan. Aku menggenggam erat tangan ayah, ada
sepenggal senyum selamat tinggal terukir di bibirnya.
“Ayah, semoga kau suka dengan kadomu di surga.” Batinku perih.
Ide cerita : Iif Thoyibah
Dikarang oleh :
Rakhmi Vegi Arizka